"Dan, lo dipanggil bos tuh." celetuk Rony memecahkan konsentrasiku.
"Serius, Ron? Mo ngapain sih? Aduh laporan gue belom kelar nih. Mampus deh gue." gerutuku.
"Iya, beneran. Masa gue bohong sih. Udah cepetan, udah ditungguin lo!" kata Rony mulai kesal.
Akhirnya dengan langkah gontai aku menuju ruangan bosku. Aku saat ini bekerja di sebuah perusahaan finance dan sedang menyusun laporan keuangan bulanan. Aku sangat khawatir jika bosku menanyakan laporan itu, karena belum selesai kukerjakan. Akhirnya dengan tampang memelas aku memasuki ruangan itu. "Permisi, Pak. Bapak memanggil saya?"
"Hei, Dan. Silahkan masuk. Ayo duduk dulu. Oya dan jangan lupa tolong tutup kembali pintunya." kata bosku, Pak Ramelan Sukmajaya, pemilik perusahaan ini. Dia begitu berwibawa dan semua orang di perusahaan ini sangat menghormatinya. Waktu aku masuk dia sedang membaca kertas-kertas laporan yang menumpuk di mejanya. Aku membatin, mampuslah aku jika dia menanyakan laporan itu.
"Kamu lagi sibuk gak hari ini?" tanyanya langsung.
"Mmm, saya sedang mengerjakan laporan untuk cabang kita yang ada di Bogor, Pak. Dan maaf belum selesai sampai hari ini." kataku dengan nada penuh penyesalan.
"Ah, kalo itu mah bisa menyusul. Begini, aku butuh bantuanmu. Tapi ini bukan masalah kantor. Apakah kamu keberatan?' tanyanya sambil menatap tajam ke arahku dari balik kaca matanya.
"Oh, tidak Pak. Sama sekali tidak." kataku dengan segera. Khawatir jika menolak, karirku di perusahaan ini bisa terancam. Apalagi dia adalah pemilik perusahaan ini. Bisa dengan mudahnya mendepak pegawai kecil seperti aku ini.
"Hari ini sopirku sedang sakit. Biasanya dia yang menjemput anakku dari sekolah. Nah, aku minta tolong hari ini kamu jemput dia di sekolah. Kamu pakai saja mobil kantor, supaya dia tahu kalo kamu adalah pegawaiku. Nanti antar saja kemanapun dia mau. Kadang-kadang pulang sekolah dia ada kegiatan di tempat lain."
"Oh, baik, Pak. Oh ya nama anak Bapak siapa ya? Maaf, saya belum pernah tahu." tanyaku hati-hati.
"Namanya Veronica. Panggilannya Vera. Ini dia fotonya waktu masih SMP." jawabnya sambil menyodorkan selembar foto keluarga yang dia selipkan di dompetnya. Aku mencoba mengingat-ingat wajah itu.
"Maaf, Pak. Lalu untuk laporan saya yang belum selesai bagaimana ya? Jadinya mungkin agak molor. Apakah tidak apa-apa?" aku masih kepikiran tugasku yang belum selesai.
"Tenang aja kalo untuk masalah itu. Pasti nanti aku kasih toleransi. Yang penting hari ini kamu jemput Vera, ya?" fiuuh... aku lega mendengar jawaban itu. Karena hari ini aku moodku juga sedang tidak bagus untuk menyusun laporan itu. Otakku serasa buntu. Makanya tugas dari bos ini kuanggap penyegaran. Apalagi kalau dilihat dari fotonya anak bos tergolong cantik. Foto itu adalah saat dia masih SMP, aku tidak membayangkan betapa cantiknya dia sekarang.
"Baik, Pak. Kalau begitu saya mohon diri. Untuk bersiap-siap dan meminjam mobil ke bagian rumah tangga." kataku sekalian monon ijin.
"Ya, silahkan. Hati-hati bawa mobilnya, ya." katanya mengingatkan.
"Baik, Pak." jawabku mantab.
*****
Jam 2 siang, kulihat anak-anak berseragam abu-abu putih sudah mulai merhamburan keluar pagar. Aku mencoba mengamati mereka dari kaca spion dan mencari wajah yang ada di foto Pak Ramelan. Aku sengaja menunggu agak jauh dari gerbang dan di dalam mobil. Agak tidak pede rasanya ketika berada di antara anak-anak ABG itu.
Saat aku sedang asyik mengamati, tiba-tiba kaca mobil sebelah kanan diketuk dari luar. Dan betapa terkejutnya aku ternyata di sebelah pintu kanan mobil sudah berdiri sesosok gadis dengan rambut sepinggang dipotong model shaggy. Kulitnya putih dengan wajah manis khas Sunda, hidung bangir dan bibir mungil menambah kesempurnaan ciptaan Tuhan ini. Sesaat aku terpana, dan jika dia tidak mengetuk kaca mobil sekali lagi mungkin aku masih melongo. Segera kuturunkan kaca depan.
"Mas ini yang disuruh Papa untuk ngejemput aku ya?" tanyanya.
"Eh, anu... Iya... Ini Non Vera ya?" jawabku gelagapan karena terkaget dari lamunanku.
"Idih, kok panik gitu sih, Mas. Iya, aku Vera. Panggil aja Vera gak usah pake 'Non'." katanya sambil tersenyum. Alamak, manis sekali senyumnya. Membuat jantung ini serasa berhenti berdetak, dan dunia seolah lambat berputar.
"Eh, baik, Non, eh, maksud saya Vera. Ayo silahkan masuk kalo gitu." kataku sambil membuka pintu sebelah kiri untuknya. Dia lalu berjalan melintasi bagian depan mobil ke arah sisi kiri. Ketika kulihat dari samping, amboi! Tak hanya wajahnya saja yang manis, tubuhnya pun terlihat sempurna dengan dua bukit di bagian atas yang tampak menonjol di balik baju putihnya dan bongkahan pantat yang padat terbalut rok abu-abu. Diam-diam aku jadi mengaguminya, baru kali ini aku melihat gadis sesempurna itu.
Dia lalu mengambil tempat duduk di depan, di sampingku. Roknya yang lumayan ketat itu sedikit tersingkap ke atas ketika dia duduk di jok mobil. Sekilas kulihat paha yang begitu putih dan mulus. Pikiranku jadi melayang dan membayangkan yang tidak-tidak. Untunglah logika cepat menyadarkanku bahwa gadis di sampingku ini adalah putri dari pemilik perusahaan tempat di mana aku mencari sesuap nasi. Adalah sesuatu yang mustahil bagiku untuk mendapatkannya, cukuplah bagiku dia mengisi fantasi dan imajinasiku, begitu hiburku dalam hati.
"Ini mau langsung pulang atau mau pergi kemana dulu, Ver?" tanyaku setelah menyalakan mobil.
"Hari ini, aku gak ada kegiatan di luar, Mas. Kita langsung pulang aja. Oh ya, namanya siapa tadi, Mas? Sampe lupa, kita kan belum kenalan." jawabnya renyah sembari menyodorkan tangan.
"Iya ya. Saya juga lupa. Nama saya Dani. Nama lengkapnya Dani Putra Setia." kataku sambil menyambut uluran tangannya. Tubuhku bagaikan tersengat listrik ketika tangan kami bertemu. Tangan mungil yang putih itu begitu lembut. Ingin rasanya berlama-lama dan tak ingin melepaskannya, namun tentunya itu hal yang mustahil.
"Kalo aku Vera, nama lengkapku Veronica Sukamajaya. Ah, pastinya Papa udah kasih tahu Mas Dani lah ya?" katanya sambil tersenyum geli. Ah, sekali lagi senyum itu membiusku di tambah lagi harum wangi yang dia tebarkan memenuhi rongga hidungku.
Dari sekolah, aku pun langsung mengantarkan Vera pulang. Aku juga tak menyangka, pertemuan kami hari itu menjadi awal dari hubungan pertemanan kami. Hari-hari berikutnya aku juga menjadi lebih sering diminta Pak Ramelan untuk menjemput Vera, entah karena memang sopirnya sedang ada perlu atau karena permintaan dari Vera sendiri, pikirku kege-eran.
Kami menjadi sangat dekat sekali. Namun kedekatan kami tak lebih bagaikan dua orang sahabat. Karena Vera sendiri saat ini sedang berpacaran dengan Ricky, kakak kelasnya. Biasanya aku juga hanya sebatas menjemput dari sekolah dan mengantarnya untuk les, kursus, atau sekedar belajar kelompok di rumah temannya. Jika sedang suntuk, terkadang dia aku jalan-jalan dan sekedar jajan di sekitar Pecenongan. Meskipun dia termasuk golongan dari orang kaya, namun untuk urusan makanan seleranya hampir sama denganku. Dia tidak gengsi atau risih ketika kuajak menikmati batagor ataupun ketoprak di pinggir jalan. Hubungan kami akhirnya semakin dekat bagaikan adik dan kakak. Terkadang aku menjadi tempat curhatnya ketika ada masalah dengan pacarnya, Ricky.
*****
Hari ini saat aku menjemput dia, tampak ada sesuatu yang lain. Matanya sembab dan merah. Wajahnya murung bagaikan langit mendung yang sebentar lagi turun hujan. Dia pun lebih diam dibandingkan biasanya. Tanpa banyak bicara dia langsung masuk mobil. Aku jadi ragu-ragu untuk menyapanya. Biarlah nanti kalau sudah agak tenang baru kuajak bicara, demikian pikirku. Setelah beberapa saat, tiba-tiba dia menangis terisak-isak. Aku pun menjadi panik. "Hei Ver, ada apa? Kok tiba-tiba nangis kaya gitu? Cerita dong"
Dia masih tak menjawab dan tangisannya malah semakin menjadi-jadi. Aku jadi tambah bingung. Lalu kusodorkan tisu untuk menyeka air matanya. Setelah agak tenang, barulah dia mulai bicara, "Banyak yang pengen aku ceritain, Mas. Tapi nggak di sini, dan juga gak di rumah. Kamu tau tempat yang enak gak buat ngobrol?"
Aku pun berpikir keras, dimana ya tempat seperti yang dimkasud oleh Vera. Lalu aku mencoba memberanikan diri, "Gimana kalo di kontrakan aku aja? Ya, gak besar sih, tapi lumayan lah kalo mau buat sekedar curhat."
"Terserah Mas Dani aja deh." lalu dia pun menatap kosong ke depan. Maka segera kustarter mobil dan kukemudikan menuju kontrakanku. Wow, kapan lagi kesempatan ini akan datang. Gadis pujaanku main ke kontrakanku. Pikiranku jadi melayang-layang tidak keruan. Beberapa fantasi dan imajinasi kotor berkelebatan di otakku. Namun ketika aku melihat gadis di sampingku yhang sedang dirundung duka itu, seketika fantasi itu rusak dan lenyap.
Tak berapa lama kami pun sampai. Mobil segera kuparkir dan dia segera kupersilahkan masuk. Saat ini aku memang masih mengontrak. Rumah kontrakanku memang tidak terlalu besar, dengan dua kamar tidur dan garasi kurasa sudah cukup nyaman. Aku tinggal sendiri setelah sebelumnya temanku memutuskan untuk pindah karena menikah.
"Ayo masuk dulu. Silahkan duduk, Ver." kataku mempersilahkan.
Vera pun duduk di sofa dan masih termenung. Aku pun ke dapur untuk mengambilkan dia minum. Mudah-mudahan setelah minum dia menjadi lebih tenang. "Nih, minum dulu, biar adem. abis itu baru kamu ceritain apa yang sebenarnya terjadi." kataku sambil menyodorkan segelas air berisi sirup.
"Makasih, Mas." jawabnya singkat lalu dia tenggak habis minuman itu.
"Ricky itu emang bajingan, Mas. Dia memutuskan aku secara sepihak, tanpa alasan yang jelas." dia mulai bercerita. "Setelah sekian lama kami bersama, tiba-tiba siang ini dia ingin menyudahi hubungan kami. Ketika kutanyakan apa sebabnya dia gak mau ngasih jawaban yang jelas." katanya penuh emosi.
"Oalah, jadi itu masalahnya. Trus kenapa kamu musti bingung? Kamu tuh orangnya cantik, pinter, baik, ramah, berprestasi, dan ehm, seksi lagi. Cowok yang ngantri untuk jadi pacar kamu tuh bejibun. Cuma kehilangan seorang Ricky mah gak ada apa-apanya. Nothing!" kataku menyemangati.
"Tapi..., ada sesuatu yang lebih besar dari itu, Mas." kali ini matanya mulai berkaca-kaca kembali.
"Memangnya apa itu kalo boleh tahu?" tanyaku penasaran.
"Aku dan dia... Kami... su..sudah sering melakukan itu" katanya sambil terisak. Kali ini dia tidak dapat menahan lagi tangisannya.
Jleger!!! Bagai petir di siang bolong, ketika aku mendengar pengakuannya tersebut. Aku jadi bingung harus menjawab apa. "Ja..jadi kamu dan dia sudah pernah...?" aku tak sanggup melanjutkan pertanyaanku, seolah tercekat di tenggorokan.
"Ya... Kami sudah melakukannya beberapa kali, katanya aku adalah yang pertama dan terakhir. Tapi kini, dia mencampakkanku begitu saja. Aku malu sekaligus takut, Mas. Apa nanti kata Papa kalau sampai tahu. Saat ini aku sudah tidak berharga lagi. Aku sudah tidak suci lagi." katanya sambil menunduk di sela-sela tangisnya.
Di luar tiba-tiba hujan dengan sangat derasnya seolah turut mengiringi kesedihan yang Vera kini tengah rasakan. "Ver, jujur, aku bingung musti ngomong apa. Ini adalah masalah yang pelik. Tapi yang pasti gini, jaman sekarang tidak dapat dipungkiri bahwa susah sekali mendapatkan gadis yang masih suci. Dan aku yakin kelak, kamu akan menemukan yang mencintai dan menyayangimu apa adanya." kataku mencoba menghiburnya.
"Kamu yakin, Mas? Bukannya keperawanan adalah sesuatu yang didewa-dewakan oleh maum pria? Saat ini aku merasa sudah tidak ada laki-laki yang mau sama aku." katanya masih sambil terisak.
"Ada kok. Masih ada laki-laki yang menyayangimu dengan apa adanya dirimu." jawabku mantab.
"Oh ya? Kamu tahu siapa dia? Kamu kenal? Kamu hanya menghiburku aja kan?"
"Laki-laki itu saat ini di depanmu." lalu kami diam dan saling berpandangan. Kami tak mempedulikan hujan deras disertai petir yang mengguyur ibu kota siang itu. Bagi kami dunia seolah lambat berjalan.
"K..Kamu serius, Mas?" dia tampak kaget dengan pernyataanku barusan. Bahkan aku sendiri juga terkejut akan kenekatanku mengungkapkan hal ini padanya. Tapi, apa boleh buat, sudah kepalang tanggung. "Aku serius. Aku udah jatuh cinta sama kamu sejak pertama kali kita ketemu waktu aku menjemput kamu pulang sekolah. Dan sejak saat itu aku bertekad akan selalu menjagamu apapun yang terjadi."
Vera pun terdiam dan masih memandangku. Namun kali ini aku merasa pandangannya menjadi lain. Aku melihat ada harapan di sana setelah sebelumnya yang kulihat hanyalah keputus asaan. Beberapa detik kemudian kami sudah saling berpelukan. Tubuh kami erat sekali, bahkan aku dapat merasakan dua buah dadanya yang menempel ketat ke dadaku. Kuangkat wajahnya, lalu kami pun berciuman. Tak kusangka ternyata Vera tidak menolak dan dia tampak lihai sekali. Bibir kami saling memagut dan lidah kami saling bertarung di dalamnya. Kesempatan ini tak kusia-siakan, tanganku segera bergerilya menuju dua bukit kembar di balik baju seeragamnya yang sudah memikat syahwatku sejak pertama kami bertemu. Kurasakan masih begitu kenyal dan padat untuk ukuran cewek yang sudah pernah berhubungan badan. Sementara bibir kami beradu, tanganku melucuti baju seragam dan berhasil melepas kaitan branya. Kini tanganku berhasil menyentuh payudara yang masih mengkal itu secara langsung. Kuremas-remas lalu kumainkan puting yang ternyata sudah mengeras itu.
Bersambung
"Kamu yakin, Mas? Bukannya keperawanan adalah sesuatu yang didewa-dewakan oleh maum pria? Saat ini aku merasa sudah tidak ada laki-laki yang mau sama aku." katanya masih sambil terisak.
"Ada kok. Masih ada laki-laki yang menyayangimu dengan apa adanya dirimu." jawabku mantab.
"Oh ya? Kamu tahu siapa dia? Kamu kenal? Kamu hanya menghiburku aja kan?"
"Laki-laki itu saat ini di depanmu." lalu kami diam dan saling berpandangan. Kami tak mempedulikan hujan deras disertai petir yang mengguyur ibu kota siang itu. Bagi kami dunia seolah lambat berjalan.
"K..Kamu serius, Mas?" dia tampak kaget dengan pernyataanku barusan. Bahkan aku sendiri juga terkejut akan kenekatanku mengungkapkan hal ini padanya. Tapi, apa boleh buat, sudah kepalang tanggung. "Aku serius. Aku udah jatuh cinta sama kamu sejak pertama kali kita ketemu waktu aku menjemput kamu pulang sekolah. Dan sejak saat itu aku bertekad akan selalu menjagamu apapun yang terjadi."
Vera pun terdiam dan masih memandangku. Namun kali ini aku merasa pandangannya menjadi lain. Aku melihat ada harapan di sana setelah sebelumnya yang kulihat hanyalah keputus asaan. Beberapa detik kemudian kami sudah saling berpelukan. Tubuh kami erat sekali, bahkan aku dapat merasakan dua buah dadanya yang menempel ketat ke dadaku. Kuangkat wajahnya, lalu kami pun berciuman. Tak kusangka ternyata Vera tidak menolak dan dia tampak lihai sekali. Bibir kami saling memagut dan lidah kami saling bertarung di dalamnya. Kesempatan ini tak kusia-siakan, tanganku segera bergerilya menuju dua bukit kembar di balik baju seeragamnya yang sudah memikat syahwatku sejak pertama kami bertemu. Kurasakan masih begitu kenyal dan padat untuk ukuran cewek yang sudah pernah berhubungan badan. Sementara bibir kami beradu, tanganku melucuti baju seragam dan berhasil melepas kaitan branya. Kini tanganku berhasil menyentuh payudara yang masih mengkal itu secara langsung. Kuremas-remas lalu kumainkan puting yang ternyata sudah mengeras itu.
Bersambung


No comments:
Post a Comment