Wednesday, October 3, 2012

Kos Asmara - 2


Sebelumnya...

Suatu malam saat aku sedang di kamar mengerjakan tugas gambar teknikku, terdengar suara Bu Susy memanggil-manggil, “Mas Randy, bisa minta tolong sebentar gak ya?”

“Ya, Bu. Ada apa?” jawabku sambil melongok ke luar kamar.

“Itu lampu kamar tidur saya mati, mungkin putus bohlamnya kali ya? Bisa minta tolong gantiin gak, Mas? Habisnya saya takut kalau masalah setrum gitu.” Katanya mengiba.

“Oh, baiklah Bu. Ibu sudah punya lampu penggantinya atau belum?” tanyaku.

Ada, saya sudah biasa menyimpan lampu cadangan. Ini  lampunya.” jawabnya sambil menyodorkan sebuah lampu TL kepadaku.

Akhirnya kami berdua menuju kamar tidurnya. Hmm, harum aroma bunga memenuhi kamar tersebut. Kamarnya lumayan luas dengan Spring Bed di sudut ruangan dan lemari pakaian dari kayu di sudut satunya lagi. Ternyata dia sudah menyiapkan bangku sebagai alat bantu untuk mengganti lampunya tersebut. Dengan temaram cahaya lampu dari ruang tengah, akhirnya aku berhasil menggantikan lampu yang sudah mati tersebut dengan lampu yang baru. Dan akhirnya, byar, ruangan kamar tidur itu menjadi terang. Aku masih berdiri di atas bangku, dan baru menyadari pemandangan indah di bawah sana.

Dari atas tampak jelas sekali belahan yang dia miliki, dan yang mengejutkanku adalah bahwa saat ini dia tidak menggunakan bra entah karena lupa atau karena biasa. Gaun tidur putih yang dikenakannya cukup tipis utuk menerawang apa yang ada di balik itu. Dua bukit kembar itu masih berdiri tegak menantang di bawah sana membuat naluri kelelakianku bergejolak. Dan sialnya, saat itu aku hanya memakai celana pendek tanpa celana dalam. Kemaluanku tidak dapat dibohongi, melihat pemandangan yang indah itupun membuatnya menggeliat, dan aku yakin Bu Susy pun pasti menyadari itu. Aku bingung, panik, malu, dan tidak tahu harus bagaimana.

“Mas, ayo turun. Kok malah melamun? Hayo lagi melamun apa itu?” suaranya mengagetkanku.


“Eh, i-iya, Bu. Maaf.” aku jadi kikuk. Aku pun segera turun dari kursi itu, dan mengembalikan kursi itu ke tempatnya semula di dekat sebuah meja rias di seberang pintu. Dan alangkah terkejutnya aku ketika akan berjalan menuju pintu, Bu Susy sudah menghadang langkahku seraya menutup pintu yang ada di belakangnya.

“Permisi, bu. Saya mau kembali ke kamar.” aku mulai panik. Jantungku berdebar-debar hebat. Aku berada di dalam situasi yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Di dalam sebuah kamar, hanya berdua dengan seorang wanita cantik nan sexy, dan sialnya dia itu ibu kosku.

“Kenapa, Mas? Kok buru-buru? Kita masih punya banyak waktu kok.” jawabnya dengan nada nakal menggoda. “Ayolah, aku tahu apa yang Mas Randy lihat dari atas tadi. Kamu pasti penasaran kan, Mas? Lihat mereka, sangat kenyal dan menggairahkan bukan?” katanya sambil meremas kedua buah dadanya sehingga mereka seakan-akan ingin meloncat keluar dari baju tidur yang tipis menerawang itu. Dia pun mulai berjalan mendekati aku, sampai akhirnya berhenti tepat di depanku. Bahkan hembusan nafasnya pun dapat kurasakan di leherku. Aku diam tak bergeming sama sekali. Akal sehatku sudah lari entah kemana. Nafsu yang selama ini terkurung, akhirnya meloncat keluar dan mulai menguasai tubuhku.


“Tapi Bu, saya ini kan anak kos Ibu. Nanti kalau ada yang tahu bagaimana? Kalau Pak Sony tiba-tiba pulang bagaimana?” aku masih mencoba bertahan pada seutas logika yang sudah rantas dan akan putus sebentar lagi.

“Tenang, tidak ada yang tahu kamu ada di sini. Anak-anak kos yang lain belum pulang, sedangkan Mas Sony masih seminggu lagi baru pulang. Jadi saat ini hanya ada kamu dan aku. Aku sudah lama sekali menunggu kesempatan seperti ini, bahkan sejak kamu pertama kali datang ke rumah ini. Oh ya, dan jangan panggil Bu, tapi panggil saja Mbak.” dia menatapku dengan memelas.

Sial, berarti benar adanya ketika pertama kali kami bertemu, dia memberikan tanda-tanda yang tidak biasa, pikirku. Dia menggenggam kedua tanganku, lalu membimbing mereka menuju dua bukit kembar yang dari tadi menjadi pusat perhatianku. Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku menyentuh payudara seorang wanita. Ah, mereka masih begitu kenyal dan kencang. Aku merasakan di telapak tanganku tonjolan kecil dari payudaranya, ya itu putingnya, dan mulai mengeras.

Dia semakin mendekat kepadaku, dan mulai menempelkan tubuhnya kepadaku. Bibirnya yang lembut pun mulai menempel ke bibirku. Lidahnya menyapu dengan lembut, dan memaksa masuk ke dalam mulutku. Akhirnya aku pun menyambut lidahnya dengan lidahku. Kami saling memagut satu sama lain, lidah kami bertarung dengan liarnya. Tangannya mulai memegang leher dan bergerak ke arah kepalaku sambil meremas-remas rambutku. Tanpa sadar tanganku mulai mengeksplorasi tubuhnya, bergerak dari payudara menuju punggung dan berakhir pada pantatnya yang padat. Sesekali dia mendesah ketika kuremas pantat yang sintal itu sambil terus memainkan lidahnya di dalam mulutku.

Tiba-tiba dia melepaskan ciuman kami, dan menggandengku menuju tempat tidur. Dan anehnya kali ini aku menurut saja tanpa mengajukan pertanyaan apapun. Kurasa logikaku kali ini sudah benar-benar putus, dan nafsu sudah menguasai tubuhku. Kami duduk di tepi tempat tidur ketika dia mulai melepaskan kaos dan celanaku. Secara perlahan dia pun melepaskan gaun tidur yang dia pakai, hanya menyisakan celana dalam warna putih saja di sana. Aku menatap pemandangan di depanku dengan takjub. Dia begitu sempurna, tubuhnya masih terbilang indah, kulitnya yang mulus, dengan dua bukit yang saat ini sedang mengencang dan putingnya yang menjulang. Dia mulai menciumku lagi,tapi kali ini ciuman ringan. Lidahnya mulai menyapu bibir, kemudian bergerak ke leherku lalu menuju dadaku dan bermain-main dengan putingku. Oh, aku semakin menegang, dan milikku di bawah sana semakin mengeras saat ada tangan lembut menggegamnya dengan lembut. Kupejamkan mataku saat lidah yang lembut itu mulai menjilati kemaluanku dari ujung hingga pangkalnya. Bolaku juga tidak luput darinya, dia mainkan dengan tangannya, oh aku benar-benar dibuatnya melayang. Aku belum pernah mengalami sensasi seperti ini dalam hidupku sebelumnya.

Dia mendongak dan memandang dengan penuh kelembutan. Bibirnya kembali menuju ke bibirku, kemudian dengan lembut tangannya meraih kepalaku lalu membimbing kepalaku menelusuri lehernya dan akhirnya bermuara pada kedua payudaranya. Kuciumi mereka dan kemudian kedua puting yang sudah mengeras itu tenggelam dalam mulutku secara bergantian kiri dan kanan. Tangannya kemudian membimbing kepalaku menuju perut dan secara perlahan kulepas celana dalamnya. Sekilas kulihat celana itu sudah sedikit basah di bagian tengahnya. Akhirnya kepalaku sampai juga di depan sebuah lipatan yang indah dan sedikit tembem memperlihatkan sedikit dari bibir kemerahan yang menyembul dari dalam. Rupanya dia adalah orang yang pandai merawat diri. Bibir bawahnya begitu mulus tanda sering dicukur. Dia mulai membuka pahanya lebih lebar, sehingga semakin tampaklah bibir yang merah dan sudah mulai sedikit basah oleh cairan pelumas. Tangan kirinya menyibakkan bibir itu sementara tangan kanannya membimbing kepalaku supaya mendekat. Secara naluri akhirnya aku pun menciumi bibir itu, menjilati, mengisap, dan sesekali memberikan gigitan kecil di sekitarnya. Tanganku akhirnya ikut membantu menyibak bibir vaginanya. Lidahku merasakan ada tonjolan di bagian atas, dimana kedua bibir itu bermuara. Kuhisap, kujilati tonjolan itu. Tanpa kuduga dia mulai mendesah, melenguh, dan menggelinjang. Tubuhnya menegang sembari tangannya meremas-remas rambutku. “Oh, mas ayo terus... Iya di situ... oh awh...”

Aku pun semakin intens dan semakin menggila bermain dengan klitorisnya. Tangan kirinya mulai meremas-remas payudaranya sendiri sambil sesekali menarik-narik putingnya. Aku pun mulai berani memasukkan jariku ke dalam liang vaginanya yang sudah basah dari tadi. Lidahku masih menari-nari di klitorisnya, sedangkan tanganku mulai dengan mudahnya bermain di dalam vaginanya. Tiba-tiba tubuhnya menegang lebih kencang dari yang tadi. Tangan kanannya menjambak rambutku dan tangan kirinya meremas payudaranya lebih kencang. Jariku yang ada di dalam dirinya terasa seperti dijepit, berdenyut-denyut serta terasa lebih basah dan licin. Dia pun seperti menjerit yang tertahan, “Akhhh... Masss.... aku... keluar...”



Nafasnya terengah-engah dan tubuhnya langsung lunglai terbaring di atas kasur. Aku masih sedikit bingung dengan apa yang terjadi. Lalu dia memberi isyarat kepadaku agar aku mendekat ke wajahnya. Kemudian ia memelukku begitu erat, sambil berbisik. “Terima kasih ya Mas, tadi barusan kamu membuat aku klimaks. Sekarang aku ingin milikmu ada di dalam milikku. Masukkan pelan-pelan ya, Mas.”

“Baik, Bu, eh, maksudku Mbak.”

Lalu dengan perlahan kumasukkan penis yang sedari tadi sudah mengeras. Dia sedikit merintih ketika kepala penisku mulai masuk liang vaginanya. Kugerakkan pelan-pelan sampai akhirnya hampir semua batangku sudah berada di dalam miliknya. Vaginanya yang masih basah tidak menyulitkanku untuk menggerakan penisku. Awalnya gerakanku agak canggung, namun lama-lama aku sudah menemukan iramanya. Tanganku bermain-main dengan payudaranya, sedangkan tangannya memegang pinggulku seolah ikut mengatur iramanya. Semakin lama gerakanku semakin cepat dan kurasakan denyut-denyut liar di dalam sana. Dorongan itu pun semakin kuat, dan akupun mendekap tubuhnya erat-erat seolah tak mau kehilangannya. Aku memompa semakin cepat dan kemudian kulihat wajahnya mulai memerah. Tangannya mulai meremas-remas pantatku dan tubuhnya mulai menegang hingga akhirnya dia menggelinjang untuk yang kedua kalinya. Dia menjerit kecil lagi, “Akh, mas... Aku datang lagi... Jangan dicabut... Biarkan keluar di dalam... ugh...”



Akhirnya dorongan itu lepas juga ketika cairan hangatku menyembur ke dalam vaginanya. Gerakanku melambat dan sisi-sisi vaginanya menjadi licin serta penisku menjadi lebih sensitif. Tubuhku lengsung menjadi lemas, tanganku pun seolah tak mampu menopang berat tubuhku sendiri. Kusandarkan kepalaku kepada dahinya. Dia memelukku erat kemudian memberikanku ciuman yang lembut. Aku bergerak ke samping dan tidur terlentang di sisinya. Lalu dia memelukku dan kami pun segera terlelap setelah mengalami kelelahan yang sangat hebat. Aku pun tidur dengan senyuman mengembang di wajahku. Aku sudah tidak sempat lagi memperhatikan wajahnya saat itu. Aku sudah terlalu lelah, aku hanya ingin tidur.

No comments:

Post a Comment