Sebelumnya...
Suatu malam saat aku sedang di kamar mengerjakan tugas gambar teknikku, terdengar suara Bu Susy memanggil-manggil, “Mas Randy, bisa minta tolong sebentar gak ya?”
Suatu malam saat aku sedang di kamar mengerjakan tugas gambar teknikku, terdengar suara Bu Susy memanggil-manggil, “Mas Randy, bisa minta tolong sebentar gak ya?”
“Ya, Bu. Ada
apa?” jawabku sambil melongok ke luar kamar.
“Itu lampu kamar
tidur saya mati, mungkin putus bohlamnya kali ya? Bisa minta tolong gantiin
gak, Mas? Habisnya saya takut kalau masalah setrum gitu.” Katanya mengiba.
“Oh, baiklah Bu.
Ibu sudah punya lampu penggantinya atau belum?” tanyaku.
“Ada , saya sudah biasa
menyimpan lampu cadangan. Ini lampunya.”
jawabnya sambil menyodorkan sebuah lampu TL kepadaku.
Akhirnya kami
berdua menuju kamar tidurnya. Hmm, harum aroma bunga memenuhi kamar tersebut.
Kamarnya lumayan luas dengan Spring Bed di sudut ruangan dan lemari pakaian
dari kayu di sudut satunya lagi. Ternyata dia sudah menyiapkan bangku sebagai
alat bantu untuk mengganti lampunya tersebut. Dengan temaram cahaya lampu dari
ruang tengah, akhirnya aku berhasil menggantikan lampu yang sudah mati tersebut dengan lampu yang baru.
Dan akhirnya, byar, ruangan kamar tidur itu menjadi terang. Aku masih berdiri
di atas bangku, dan baru menyadari pemandangan indah di bawah sana .
Dari atas tampak
jelas sekali belahan yang dia miliki, dan yang mengejutkanku adalah bahwa saat
ini dia tidak menggunakan bra entah karena lupa atau karena biasa. Gaun tidur
putih yang dikenakannya cukup tipis utuk menerawang apa yang ada di balik itu.
Dua bukit kembar itu masih berdiri tegak menantang di bawah sana membuat naluri kelelakianku bergejolak.
Dan sialnya, saat itu aku hanya memakai celana pendek tanpa celana dalam.
Kemaluanku tidak dapat dibohongi, melihat pemandangan yang indah itupun
membuatnya menggeliat, dan aku yakin Bu Susy pun pasti menyadari itu. Aku
bingung, panik, malu, dan tidak tahu harus bagaimana.
“Mas, ayo turun.
Kok malah melamun? Hayo lagi melamun apa itu?” suaranya mengagetkanku.
“Eh, i-iya, Bu.
Maaf.” aku jadi kikuk. Aku pun segera turun dari kursi itu, dan mengembalikan
kursi itu ke tempatnya semula di dekat sebuah meja rias di seberang pintu. Dan
alangkah terkejutnya aku ketika akan berjalan menuju pintu, Bu Susy sudah
menghadang langkahku seraya menutup pintu yang ada di belakangnya.
“Permisi, bu. Saya mau kembali ke kamar.” aku mulai panik. Jantungku
berdebar-debar hebat. Aku berada di dalam situasi yang tidak pernah aku duga
sebelumnya. Di dalam sebuah kamar, hanya berdua dengan seorang wanita cantik
nan sexy, dan sialnya dia itu ibu kosku.
“Kenapa, Mas? Kok buru-buru? Kita masih punya banyak waktu kok.” jawabnya
dengan nada nakal menggoda. “Ayolah, aku tahu apa yang Mas Randy lihat dari
atas tadi. Kamu pasti penasaran kan, Mas? Lihat mereka, sangat kenyal dan
menggairahkan bukan?” katanya sambil meremas kedua buah dadanya sehingga mereka
seakan-akan ingin meloncat keluar dari baju tidur yang tipis menerawang itu.
Dia pun mulai berjalan mendekati aku, sampai akhirnya berhenti tepat di depanku.
Bahkan hembusan nafasnya pun dapat kurasakan di leherku. Aku diam tak bergeming
sama sekali. Akal sehatku sudah lari entah kemana. Nafsu yang selama ini
terkurung, akhirnya meloncat keluar dan mulai menguasai tubuhku.
“Tapi Bu, saya ini kan anak kos Ibu. Nanti kalau ada yang tahu bagaimana?
Kalau Pak Sony tiba-tiba pulang bagaimana?” aku masih mencoba bertahan pada
seutas logika yang sudah rantas dan akan putus sebentar lagi.
“Tenang, tidak ada yang tahu kamu ada di sini. Anak-anak kos yang lain
belum pulang, sedangkan Mas Sony masih seminggu lagi baru pulang. Jadi saat ini
hanya ada kamu dan aku. Aku sudah lama sekali menunggu kesempatan seperti ini,
bahkan sejak kamu pertama kali datang ke rumah ini. Oh ya, dan jangan panggil
Bu, tapi panggil saja Mbak.” dia menatapku dengan memelas.
Sial, berarti benar adanya ketika pertama kali kami bertemu, dia memberikan
tanda-tanda yang tidak biasa, pikirku. Dia menggenggam kedua tanganku, lalu
membimbing mereka menuju dua bukit kembar yang dari tadi menjadi pusat
perhatianku. Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku menyentuh payudara seorang
wanita. Ah, mereka masih begitu kenyal dan kencang. Aku merasakan di telapak
tanganku tonjolan kecil dari payudaranya, ya itu putingnya, dan mulai mengeras.
Dia semakin mendekat kepadaku, dan mulai menempelkan tubuhnya kepadaku. Bibirnya
yang lembut pun mulai menempel ke bibirku. Lidahnya menyapu dengan lembut, dan
memaksa masuk ke dalam mulutku. Akhirnya aku pun menyambut lidahnya dengan
lidahku. Kami saling memagut satu sama lain, lidah kami bertarung dengan
liarnya. Tangannya mulai memegang leher dan bergerak ke arah kepalaku sambil
meremas-remas rambutku. Tanpa sadar tanganku mulai mengeksplorasi tubuhnya,
bergerak dari payudara menuju punggung dan berakhir pada pantatnya yang padat.
Sesekali dia mendesah ketika kuremas pantat yang sintal itu sambil terus
memainkan lidahnya di dalam mulutku.
Tiba-tiba dia melepaskan ciuman kami, dan menggandengku menuju tempat
tidur. Dan anehnya kali ini aku menurut saja tanpa mengajukan pertanyaan
apapun. Kurasa logikaku kali ini sudah benar-benar putus, dan nafsu sudah
menguasai tubuhku. Kami duduk di tepi tempat tidur ketika dia mulai melepaskan
kaos dan celanaku. Secara perlahan dia pun melepaskan gaun tidur yang dia
pakai, hanya menyisakan celana dalam warna putih saja di sana. Aku menatap
pemandangan di depanku dengan takjub. Dia begitu sempurna, tubuhnya masih
terbilang indah, kulitnya yang mulus, dengan dua bukit yang saat ini sedang
mengencang dan putingnya yang menjulang. Dia mulai menciumku lagi,tapi kali ini
ciuman ringan. Lidahnya mulai menyapu bibir, kemudian bergerak ke leherku lalu
menuju dadaku dan bermain-main dengan putingku. Oh, aku semakin menegang, dan
milikku di bawah sana semakin mengeras saat ada tangan lembut menggegamnya
dengan lembut. Kupejamkan mataku saat lidah yang lembut itu mulai menjilati
kemaluanku dari ujung hingga pangkalnya. Bolaku juga tidak luput darinya, dia
mainkan dengan tangannya, oh aku benar-benar dibuatnya melayang. Aku belum
pernah mengalami sensasi seperti ini dalam hidupku sebelumnya.
Dia mendongak dan memandang dengan penuh kelembutan. Bibirnya kembali
menuju ke bibirku, kemudian dengan lembut tangannya meraih kepalaku lalu
membimbing kepalaku menelusuri lehernya dan akhirnya bermuara pada kedua
payudaranya. Kuciumi mereka dan kemudian kedua puting yang sudah mengeras itu
tenggelam dalam mulutku secara bergantian kiri dan kanan. Tangannya kemudian
membimbing kepalaku menuju perut dan secara perlahan kulepas celana dalamnya.
Sekilas kulihat celana itu sudah sedikit basah di bagian tengahnya. Akhirnya
kepalaku sampai juga di depan sebuah lipatan yang indah dan sedikit tembem
memperlihatkan sedikit dari bibir kemerahan yang menyembul dari dalam. Rupanya dia adalah orang yang pandai merawat diri. Bibir bawahnya begitu mulus tanda sering dicukur. Dia
mulai membuka pahanya lebih lebar, sehingga semakin tampaklah bibir yang merah
dan sudah mulai sedikit basah oleh cairan pelumas. Tangan kirinya menyibakkan
bibir itu sementara tangan kanannya membimbing kepalaku supaya mendekat. Secara
naluri akhirnya aku pun menciumi bibir itu, menjilati, mengisap, dan sesekali
memberikan gigitan kecil di sekitarnya. Tanganku akhirnya ikut membantu
menyibak bibir vaginanya. Lidahku merasakan ada tonjolan di bagian atas, dimana
kedua bibir itu bermuara. Kuhisap, kujilati tonjolan itu. Tanpa kuduga dia
mulai mendesah, melenguh, dan menggelinjang. Tubuhnya menegang sembari
tangannya meremas-remas rambutku. “Oh, mas ayo terus... Iya di situ... oh
awh...”
Aku pun semakin intens dan semakin menggila bermain dengan klitorisnya.
Tangan kirinya mulai meremas-remas payudaranya sendiri sambil sesekali
menarik-narik putingnya. Aku pun mulai berani memasukkan jariku ke dalam liang
vaginanya yang sudah basah dari tadi. Lidahku masih menari-nari di klitorisnya,
sedangkan tanganku mulai dengan mudahnya bermain di dalam vaginanya. Tiba-tiba
tubuhnya menegang lebih kencang dari yang tadi. Tangan kanannya menjambak
rambutku dan tangan kirinya meremas payudaranya lebih kencang. Jariku yang ada
di dalam dirinya terasa seperti dijepit, berdenyut-denyut serta terasa lebih
basah dan licin. Dia pun seperti menjerit yang tertahan, “Akhhh... Masss....
aku... keluar...”
Nafasnya terengah-engah dan tubuhnya langsung lunglai terbaring di atas
kasur. Aku masih sedikit bingung dengan apa yang terjadi. Lalu dia memberi
isyarat kepadaku agar aku mendekat ke wajahnya. Kemudian ia memelukku begitu
erat, sambil berbisik. “Terima kasih ya Mas, tadi barusan kamu membuat aku
klimaks. Sekarang aku ingin milikmu ada di dalam milikku. Masukkan pelan-pelan
ya, Mas.”
“Baik, Bu, eh, maksudku Mbak.”
Lalu dengan perlahan kumasukkan penis yang sedari tadi sudah mengeras. Dia
sedikit merintih ketika kepala penisku mulai masuk liang vaginanya. Kugerakkan
pelan-pelan sampai akhirnya hampir semua batangku sudah berada di dalam
miliknya. Vaginanya yang masih basah tidak menyulitkanku untuk menggerakan
penisku. Awalnya gerakanku agak canggung, namun lama-lama aku sudah menemukan
iramanya. Tanganku bermain-main dengan payudaranya, sedangkan tangannya
memegang pinggulku seolah ikut mengatur iramanya. Semakin lama gerakanku semakin
cepat dan kurasakan denyut-denyut liar di dalam sana. Dorongan itu pun semakin
kuat, dan akupun mendekap tubuhnya erat-erat seolah tak mau kehilangannya. Aku
memompa semakin cepat dan kemudian kulihat wajahnya mulai memerah. Tangannya
mulai meremas-remas pantatku dan tubuhnya mulai menegang hingga akhirnya dia
menggelinjang untuk yang kedua kalinya. Dia menjerit kecil lagi, “Akh, mas...
Aku datang lagi... Jangan dicabut... Biarkan keluar di dalam... ugh...”
Akhirnya dorongan itu lepas juga ketika cairan hangatku menyembur ke dalam
vaginanya. Gerakanku melambat dan sisi-sisi vaginanya menjadi licin serta
penisku menjadi lebih sensitif. Tubuhku lengsung menjadi lemas, tanganku pun
seolah tak mampu menopang berat tubuhku sendiri. Kusandarkan kepalaku kepada
dahinya. Dia memelukku erat kemudian memberikanku ciuman yang lembut. Aku
bergerak ke samping dan tidur terlentang di sisinya. Lalu dia memelukku dan
kami pun segera terlelap setelah mengalami kelelahan yang sangat hebat. Aku pun
tidur dengan senyuman mengembang di wajahku. Aku sudah tidak sempat lagi
memperhatikan wajahnya saat itu. Aku sudah terlalu lelah, aku hanya ingin
tidur.



No comments:
Post a Comment