Wednesday, October 24, 2012

Sex is My Gym

Kulirik arloji di tangan kiriku, waktu menunjukkan pukul 20.35. Berarti mungkin sampai kontrakan aku sudah tidak sempat mengerjakan tugas kuliahku dulu. Session aerobic hari ini molor sampai setengah jam. Memang tidak mudah menjadi seorang mahasiswi sekaligus seorang instruktur senam.  Aku harus pandai membagi waktu antara kuliah dan bekerja. Di satu sisi aku harus mengejar agar kuliahku dapat selesai pada waktunya, namun di sisi lain aku juga harus tetap memenuhi kewajibanku sebagai instruktur aerobik demi mendapatkan uang untuk kebutuhanku sehari-hari. Biaya kontrakan di daerah Bekasi juga tidak murah, karena aku memilih kontrakan yang nyaman dan berfasilitas lengkap. 

Betapa terkejutnya aku ketika kuperiksa ke dalam tas ternyata hape dan paper tugas kuliahku tidak ada. Sepertinya tertinggal di tempat fitness. Mau tidak mau akhirnya kuminta supir taksi itu untuk putar balik ke tempat semula. Tak berapa lama sampailah aku di sebuah fitness center di bilangan Jakarta Timur. Karena aku juga belum yakin apakah barangku tertinggal di dalam, akhirnya kubayar taksi itu dan tidak kusuruh menunggu. Kulihat lampu masih menyala, ah, berarti masih ada orang di dalam. Aku pun segera bergegas masuk. Ternyata di dalam masih ada Ivan salah seorang instruktur untuk bodybuilder. Menurutku dia cukup tampan dengan body yang ideal. Tidak terlalu besar namun padat dengan otot yang menonjol di sana sini. Perut yang sixpack itu tentu akan membuat gadis mana pun bertekuk lutut. Aku sendiri sangat kagum terhadap dirinya, terhadap kemampuannya menjaga kebugaran tubuhnya. Tidak jarang sosok Ivan menghiasi fantasi-fantasi liarku. Saat ini kulihat dia sedang berlatih bench press, yaitu sebuah alat latihan yang digunakan untuk membentuk otot dada.

"Hai, Van. Belum pulang nih? Widih, masih latihan aja nih." sapaku saat memasuki ruangan. Ruangan di fitness center tempat aku bekerja terbagi menjadi dua, yang satu untuk latihan aerobik, tempatnya lebih di dalam dan satu lagi untuk latihan beban yang letaknya lebih di luar. Seluruh ruangan dipasangi cermin sehingga kami dapat melihat pantulan diri kami dari segala sisi.

"Oh, hai, Ren. Lho kok balik lagi? Bukannya tadi lo udah balik ya? Kalo gue sih lagi dapet shift malem, jadi ntar sekalian nutup pintu depan." jawabnya sambil menyeka keringat di tubuhnya. Dia memakai kaos singlet yang sangat mengekspos otot-otot di lengan dan dadanya. Lututku hampir lemas saat melintas di depannya. Entah hanya perasaanku saja atau saat ini dia memang sedang memandangku namun tidak seperti biasanya. Tatapannya seolah sedang menelusuri setiap lekuk tubuhku. Memang saat ini aku hanya memakai kaos tanktop warna pink yang lumayan ketat sehingga menonjolkan setiap lekukan tubuhku. Payudaraku sedikit di atas rata-rata, dengan ukuran 34 C cukup membuat kaum adam terhipnotis. Selain itu aku memakai celana pensil yang menempel ketat sehingga menampilkan bentuk pantatku yang indah membulat akibat efek dari latihan aerobik yang kujalani.


"Iya nih Van, kayanya hape dan tugas kuliah gue ketinggalan deh. Makanya gue balik lagi. Mudah-mudahan sih masih ada di sini. Seinget gue tadi udah gue siapin deket tas, eh pas gue cek di taksi ternyata gak ada."

"Ya udah coba lo cari dulu, mudah-mudahan sih ketemu. Bisa berabe kalo hape ilang. Eh, gue persiapan nutup pintu depan dulu ya." katanya sambil ngeloyor pergi ke depan.

Setelah kucari kesana kemari, ternyata map berisi tugas kuliah dan hapeku terselip di loker bagian bawah. Saat aku sedang mengambil map dan hape itu, ada suara berdehem, dan aku pun mendongak dengan posisi tubuh masih merangkak.

"Ehm, Ren, lo tau gak? Ternyata lo tuh punya asset yang luar biasa. Gue selalu ngebayangin gimana ya rasanya..." Ivan sudah bersandar di pintu pembatas antara ruang aerobik dan bodybuilder. Sial! sepertinya dia sudah berdiri cukup lama di situ. Dan lebih sial lagi dengan posisiku saat ini berarti buah dadaku terlihat sangat menggantung dan akan membuat lelaki manapun tergoda.


Wednesday, October 3, 2012

Kos Asmara - 2


Sebelumnya...

Suatu malam saat aku sedang di kamar mengerjakan tugas gambar teknikku, terdengar suara Bu Susy memanggil-manggil, “Mas Randy, bisa minta tolong sebentar gak ya?”

“Ya, Bu. Ada apa?” jawabku sambil melongok ke luar kamar.

“Itu lampu kamar tidur saya mati, mungkin putus bohlamnya kali ya? Bisa minta tolong gantiin gak, Mas? Habisnya saya takut kalau masalah setrum gitu.” Katanya mengiba.

“Oh, baiklah Bu. Ibu sudah punya lampu penggantinya atau belum?” tanyaku.

Ada, saya sudah biasa menyimpan lampu cadangan. Ini  lampunya.” jawabnya sambil menyodorkan sebuah lampu TL kepadaku.

Akhirnya kami berdua menuju kamar tidurnya. Hmm, harum aroma bunga memenuhi kamar tersebut. Kamarnya lumayan luas dengan Spring Bed di sudut ruangan dan lemari pakaian dari kayu di sudut satunya lagi. Ternyata dia sudah menyiapkan bangku sebagai alat bantu untuk mengganti lampunya tersebut. Dengan temaram cahaya lampu dari ruang tengah, akhirnya aku berhasil menggantikan lampu yang sudah mati tersebut dengan lampu yang baru. Dan akhirnya, byar, ruangan kamar tidur itu menjadi terang. Aku masih berdiri di atas bangku, dan baru menyadari pemandangan indah di bawah sana.

Dari atas tampak jelas sekali belahan yang dia miliki, dan yang mengejutkanku adalah bahwa saat ini dia tidak menggunakan bra entah karena lupa atau karena biasa. Gaun tidur putih yang dikenakannya cukup tipis utuk menerawang apa yang ada di balik itu. Dua bukit kembar itu masih berdiri tegak menantang di bawah sana membuat naluri kelelakianku bergejolak. Dan sialnya, saat itu aku hanya memakai celana pendek tanpa celana dalam. Kemaluanku tidak dapat dibohongi, melihat pemandangan yang indah itupun membuatnya menggeliat, dan aku yakin Bu Susy pun pasti menyadari itu. Aku bingung, panik, malu, dan tidak tahu harus bagaimana.

“Mas, ayo turun. Kok malah melamun? Hayo lagi melamun apa itu?” suaranya mengagetkanku.

Sensasi Gadis Pantura 2



Kamar itu tidak terlalu besar dengan penerangan sebuah lampu kecil yang memberikan sensasi remang-remang. Di tengahnya terdapai dipan yang tertutup oleh kasur dan dilapisi seprai. Disudut ruangan ada meja dan bangku kecil yang didepannya tergantung sebuah kaca. Menurutku kamar ini cukup bersih dan nyaman. Ketika masuk ke dalamnya aku disambut oleh wangi aroma yang aku juga tidak tahu pasti apa itu. Tapi aroma itu telah membuatku rileks dan nyaman.

Ketika aku masih termangu melihat keadaan sekeliling, suara Santi yang lembut mengejutkanku.

"Ayo atuh A', jadi pijit ga? Kok malah bengong di pintu aja?"

"Eh, iya ya... Oke... Oke..." aku pun segera mengambil posisi di tempat tidur.

"Bajunya dibuka dulu atuh A'. Masa pijit masih pake baju begitu." kata Santi dengan manja.

Ya, tentu saja. Betapa bodohnya aku, apa yang akan dipijit jika aku masih mengenakan bajuku? Segera saja kulepas kemeja dan kaos dalamku, kemudian dengan telaten tanpa perlu disuruh Santi mengambil lalu menggantungkannya di balik pintu yang telah ia tutup sebelumnya.

"Punten A', celana panjangnya dilepas juga atuh. Nanti Santi susah mijitnya kalo masih pake celana begitu."

Wow, aku kaget. Masalahnya aku hanya menggunakan boxer di balik celana panjangku. Masih ada sedikit rasa risih untuk hanya mengenakan boxer di depan gadis manis yang belum aku kenal ini. Namun saat aku menatap wajah manis nan sensual serta melirik sedikit ke bawah lehernya di mana tergantung dua buah gundukan padat serta berisi itu, akal sehatku terkalahkan. Akhirnya kulepas juga celana panjangku dengan dibantu olehnya.

Dia pun mulai memijit ringan dari mulai bawah kakiku. Dia mengendurkan otot-otot kakiku yag sudah pegal karena menginjak pedal seharian. Dari kaki, dia beralih ke leher kemudian turun menuju punggung. Tanganku pun tak lupa ia relaksasi.

"Wah, si Aa' ototnya pada kaku semua ya? Pasti pegel-pegel semua ya A'?" tanyanya lembut.

"Iya nih, habis nyetir seharian. Jadinya pada kaku semua."

"Tenang aja A', serahkan sama Santi pasti semuanya akan beres." jawabnya menggoda.

Dia lalu menuangkan sedikit lotion di tangannya lalu dia balurkan ke punggung dan mulai mengurutnya. Ah, nyaman sekali rasanya ketika tangan mungil nan halus itu mulai menyapu punggungku dari atas sampai hampir pada bokongku. Penat yang dari tadi pagi kurasakan seolah perlahan-lahan mulai sirna.

Selesai dengan punggung, dia lanjutkan dengan kakiku. Dia mulai mengurut otot kaki bagian bawah. Dari telapak kaki dia mulai bergerak ke atas menuju paha. Ketika mengurut pada pangkal pahaku, entah sengaja atau tidak sesekali dia menyentuh kedua bolaku. Aku pun sedikit terkejut, namun sepertinya dia menanggapinya dengan biasa.

“A’, ayo coba balik badan, saya mau mengurut leher dan bagian depan Aa’.” dia memintaku penuh kelembutan. Aku pun segera menurutinya, kubalik badanku sehingga sekarang dalam posisi berbaring. Dia mulai mengusapi badanku dengan lotion. Saat itu baru kusadari bahwa dia sangat manis, dengan payudara yang bergoyang-goyang saat dia mengusap badanku dengan lotion. Tiba-tiba tanpa diduga dia duduk diatas perutku, dan mulai mengurut leherku. Bagiku berat tubuhnya bukan masalah, namun sensasi yang kurasakan itu lumayan meresahkanku, mengingat aku belum pernah melakukan hal ini dengan wanita lain. Tapi aku hanya diam saja dan menikmati keadaaan ini. Mataku tak lepas dari dua buah bukit kembar yang sedari tadi bergoyang-goyang menantang, dan tampaknya dia mulai menyadari kalau aku memperhatikannya. Bukannya risih namun dia malah mengambil tanganku, mengurutnya, sambil menempelkan punggung tanganku ke dadanya. Wow, kurasakan sesuatu yang masih kenyal dan kencang di sana, dan hal itu memicu hormon testosteronku meroket. Kemaluanku yang dari tadi sudah setengah menegang menjadi full erection. Selesai mengurut tangan kananku, dia pun melanjutkan dengan tangan kiriku dan masih dengan cara yang sama.

Tanpa sadar tangan kananku mulai memegang-megang sambil sedikit meremas payudara yang masih padat itu. “Ih, Aa’ nakal deh. Kenapa atuh A’? Suka ya?” jawabnya nakal.

“Aku gemes banget ngeliatnya. Masih bagus banget ya? Boleh lihat ga? Aku penasaran nih.” entah setan mana yang merasukiku hingga aku berani berkata demikian. Sepertinya urat maluku sudah putus. Tanpa kuduga, dia pun segera melepas tank top-nya, sehingga kali ini kulihat dengan jelas dua bukit kembar itu bergantung dekat sekali dengan wajahku. Tanganku pun segera menangkapnya, bermain-main, serta memilin-milin lembut puting yang masih terbilang kecil itu. Perlahan namun pasti puting kecil yang berwarna coklat kehitaman itu pun mengeras, dan payudara yang masih ranum itu mulai mengencang.