Tuesday, January 15, 2013

Puncak Nan Membara - 1


Tak terasa sudah hampir 6 bulan sejak aku diterima bekerja di perusahaan ini. Perusahaan kami bergerak di bidang IT dan biasa menjadi penyedia di kantor-kantor pemerintahan maupun swasta. Setelah implementasi suatu project, biasanya dilanjutkan dengan pelaksanaan training. Dan seperti lazimnya kantor pemerintah, mereka selalu meminta agar pelaksanaan training dilakukan di luar kota supaya mereka bisa sekalian jalan-jalan.

Aku sendiri di bagian administrasi yang mengurusi berkas-berkas pendukung kelengkapan sebuah project. Ketika ada satu lembar berkas saja yang miss, maka habislah aku, dan jangan berharap dapat terus bekerja di sini lagi. Karena ketika bicara project, uang yang dimainkan tidak hanya ratusan ribu ataupun jutaan rupiah, melainkan hingga mencapai miliaran rupiah. Tapi selain mengurusi kelengkapan administrasi, biasanya aku juga diajak ketika pelaksanaan training. Aku juga disuruh menjadi panitia untuk membantu terlaksananya training agar dapat berjalan lancar. 


Oh ya, namaku Rani dan usiaku baru 24 tahun. Selepas kuliah, inilah pengalaman pertamaku dalam dunia pekerjaan. Aku sendiri memutuskan untuk memakai hijab semenjak kuliah hingga sekarang. Kata teman-teman, ternyata jilbab tidak menyembunyikan wajahku yang manis. Justru semakin membuat aura kecantikanku keluar. Ada alasan tersendiri mengapa aku memutuskan memakai hijab. Selain untuk menyamarkan bentuk payudaraku yang memang di atas rata-rata dengan ukuran 34 D, ada sebab lain yang mendorong aku memakai hijab.

Ketika SMA, aku termasuk cewek yang genit, ditambah dengan bentuk tubuhku yang ramping dengan payudara padat berisi membuat setiap cowok tergila-gila. Namun, aku tidak sampai melakukan hubungan badan dengan mereka. Bahkan dengan mantan pacarku pun aku hanya sebatas bercumbu, ciuman, dan petting saja. Aku selalu menolak kalau sampai diajak intercourse. Karena aku masih berprinsip, kesucianku ini akan aku persembahkan hanya untuk laki-laki yang menjadi pendamping hidupku. Meskipun jujur saja, hal itu cukup sulit kulakukan mengingat aku adalah seorang wanita yang mudah terangsang dan terbakar gairahnya. Untuk meredam hal itu, maka semenjak masuk bangku kuliah kuputuskan untuk memakai hijab. Dan kurasa hal itu cukup efektif, paling tidak sampai saat ini.

Aku termasuk beruntung karena di kantorku ini orang-orangnya cukup bersahabat dan saling membantu dalam hal pekerjaan. Tidak butuh waktu lama untuk membaur dengan mereka. Mereka pun cukup welcome ketika pertama kali aku datang ke kantor ini. Kini setelah 6 bulan berjalan, kami lebih seperti sebuah keluarga.

“Ran, akhir pekan besok kamu bantu si Pandu untuk training di daerah puncak ya.” tiba-tiba atasanku, Pak Ramli sudah berdiri di depan mejaku.

“Eh, i..iya, Pak. Sama siapa lagi, Pak?” jawabku agak tergagap karena tidak mengetahui dari kapan dia sudah berdiri di sana. Biasanya satu tim dari kami terdiri dari 3 sampai 5 orang.

“Kalian berdua saja, karena untuk segala perlengkapan dan akomodasi sudah ditanggung sama klien. Biasa, mereka dari pemerintahan dan ini sudah menjelang akhir tahun jadi kesempatan bagi mereka untuk menghabiskan anggaran.”

“Oh, baiklah kalo begitu, Pak. Nanti akan segera saya siapkan apa-apa saja yang diperlukan.” kataku mantab.

“Ah, kayanya gak terlalu banyak. Soalnya kali ini kita seperti tamu. Kita menjadi nara sumber, dan mereka yang menjamu kita. Jadi nanti bantu saja si Pandu, ya, kamu bisa menjadi asrot-nya lah. Karena nanti dia yang akan presentasi mengenai produk yang sudah diimplementasi di kantor mereka.” Pak Ramli menjelaskan.

“Baik, Pak.”

****

Tibalah hari yang dinanti. Sabtu pagi aku memang janjian sama Mas Pandu agak pagi di kantor. Kami putuskan untuk berangkat bersama dari kantor. Maklum, aku tidak terlalu mengerti daerah puncak, sedangkan Mas Pandu sudah biasa melanglang buana kemana-mana. Dia adalah salah satu trainer senior di perusahaan kami. Kadang aku merasa, dia lebih mirip katalog berjalan, karena tidak ada spek barang yang luput dari ingatannya.

“Hai, Ran. Udah lama nunggunya? Sori agak telat, gak tau nih, akhir pekan masih juga macet. Dasar Jakarta!” sapanya sambil ngedumel. Dia tampak menarik, dengan setelan celana jeans dan kaos Polo hitam yang menempel ketat di badannya yang atletis. Untung pakaianku juga tidak ancur-ancur amat. Aku memakai rok jeans yang kupadukan dengan kaus lengan panjang berwarna merah yang lumayan ketat sehingga payudaraku tampak membulat padat namun masih tersamar oleh jilbab pink yang kukenakan. 

“Ah, aku juga baru nyampe kok, Mas. Jadi kita langsung berangkat nih?”

“Iyalah, nanti keburu siang, malah kejebak macet. Apalagi ini akhir pekan, banyak orang yang menuju puncak. Oya, kamu bawa baju ganti kan?” tanyanya sambil menyematkan kaca mata hitam. Fiuh, dia kelihatan tampan layaknya pria metroseksual. Ups, aku harus fokus terhadap pekerjaanku.

“Iya donk. Nih.” kataku sambil menjinjing tas yang sudah kusiapkan. Akhirnya tak menunggu lama kami pun segera berangkat menuju puncak dengan menggunakan mobil Honda Jazz warna merah milik Mas Pandu.

Di dalam perjalanan, aku seringkali memergoki matanya mencoba melirik ke arah payudaraku. Namun ketika aku melihat ke arahnya, dia langsung mengalihkan pandangannya ke depan lagi. Hal ini membuat jantungku berdebar-debar tidak keruan. Sudah lama aku tidak pernah pergi berdua dengan seorang cowok. Ditambah lagi cowok yang satu ini tampan dan sepertinya sudah mapan, sehingga aku merasa minder dibuatnya. Di perusahaan ini aku masih anak kemarin sore.

Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 3 jam, sampailah kami di tempat yang dimaksud. Ternyata tempatnya lebih mirip seperti cottage yang berada dalam satu kompleks. Setelah memarkir mobil, akhirnya kami menemui panitia dari instansi tersebut dan bermaksud untuk menanyakan akomodasi yang disediakan buat kami.

“Dari PT. Bintang Solusi Teknologi, ya Pak?” tanya salah satu panitia.

“Iya, betul sekali, Pak. Tim kami dua orang, Pak. Karena kami laki-laki dan perempuan, maka mohon agar kamarnya dipisah.” Mas Pandu menjelaskan.

“Aduh, maaf kalau kami tidak mengkonfirmasi sebelumnya. Untuk kamar di sini hanya tersisa satu yang ukuran besar, dan rencananya itu kami peruntukkan untuk Anda. Hanya saja kami tidak menyangka kalau ternyata partner Anda seorang wanita. Sekali lagi maafkan kami, Pak.” mereka tampak sangat menyesal.

“Apa benar-benar tidak ada kamar yang kosong, Pak? Karena rasanya tidak pantas jika kami harus satu ruangan. Atau paling tidak adakah peserta training yang wanita?” Mas Pandu masih mencari celah.

“Mohon maaf, sekali mohon maaf, Pak. Peserta training kali ini pria semua. Dan semua kamar sudah terisi penuh. Jadi bagaimana, ya Pak?”

Mas Pandu menatap mataku seolah-olah mencari solusi atas masalah yang timbul saat ini. Aku bisa melihat bahwa dia sedang bimbang dan bingung harus bagaimana. Dia merasa tidak enak kalau kami harus satu kamar, tapi sayangnya sudah tidak ada kamar lagi yang tersedia. Aku pun menjadi panik, kalaupun hanya tinggal satu kamar yang tersisa, tapi masa iya aku harus sekamar dengan seorang pria. Akhirnya aku mengalah, karena kupikir pekerjaan adalah yang utama, toh nanti masalah tidur bisa diatur.

“Ya sudahlah, Mas. Tidak apa-apa. Nanti kita atur saja bagaimana enaknya. Yang penting tujuan kita ke sini dapat terlaksana.” kataku.

“Kamu yakin, Ran? Tapi aku sih terserah kamu saja. Kalau kamunya tidak apa-apa, aku sih fine aja.” ada kelegaan di wajah Mas Pandu.

“Baiklah, Pak. Tidak apa-apa, karena teman saya ini juga tidak keberatan. Oh ya, sesi untuk kami kira-kira jam berapa ya?”

“Sekitar jam 1 siang, Pak. Setelah itu nanti malam kita free dan dilanjutkan lagi besok pagi.” kata panitia itu menjelaskan.

Akhirnya setelah menerima kunci kamar, kami pun mohon diri untuk menuju ke ruangan kami.

Ternyata ruangan kami berupa bungalow yang lumayan besar, dengan semacam pendopo di depannya lengkap dengan meja dan kursinya. Di dalamnya terdapat sebuah ranjang dengan ukuran king size untuk dua orang. Di sudut kamar ada kamar mandi yang bisa dibilang cukup mewah dengan shower dan bath tub. Lalu di samping ranjang juga ada televisi yang berukuran cukup besar. Setelah meletakkan barang-barang, kami pun segera mempersiapkan segala kelengkapan untuk acara presentasi.

****

Selesai acara presentasi, waktu itu hari sudah menjelang petang, kami pun menuju ruangan tempat kami menginap setelah sebelumnya kami mohon diri kepada panitia. Di langit mendung sudah tampak begelayut dengan begitu hitamnya, tanda malam ini puncak akan diguyur hujan lebat.

“Hei, Ran. Siapa dulu nih yang mandi?” kata Mas Pandu saat kami sudah mendekati bungalow kami.

“Kamu dulu aja, lah. Biasanya kalo cewek kan lama mandinya, gak enak kalo ditungguin. Lagian aku mesti beresin berkas dan barang bawaanku.”

“Okelah kalo begitu” katanya sambil nyengir.

Sampai di dalam kamar aku pun segera membereskan berkas dan arsip-arsip untuk acara presentasi tadi. Setelah itu aku menyiapkan baju ganti untuk malam ini. Sementara Mas Pandu masih mandi, iseng-iseng aku pun menyalakan televisi. Kupencet-pencet tombol remote sambil mencari acara yang bagus. Namun sepintas rasanya tidak ada acara yang menarik, hingga akhirnya aku berhenti pada salah satu saluran. Di saluran tersebut sedang memutar adegan antara pria dan wanita yang sedang berhubungan badan. Mereka mulai dari berciuman, lalu saling memeluk, meremas, hingga akhirnya sang laki-laki menjilati kemaluan sang wanita, pun demikian sebaliknya. Setelah puas dengan foreplay, akhirnya sang laki-laki yang memiliki batang sangat besar itu mulai melakukan penetrasi ke dalam kemaluan sang wanita. Gerakan mereka semakin lama semakin cepat dan nafas mereka semakin memburu.

Tak ayal adegan itu membangkitkan gairahku. Tanpa kusadari tanganku sudah mengusap-usap kemaluanku dari balik rok yang mulai berdenyut-denyut. Saat aku tengah asyik menikmati momen ini, tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara pintu kamar mandi yang terbuka. Langsung saja kutekan tombol power.

“Aku udah selesai, Ran. Gantian kamu gih yang mandi.” celetuk Mas Pandu di depan pintu kamar mandi.

Aku yang masih terkaget-kaget, menjadi salah tingkah seperti maling yang sedang kepergok hansip.

“E.. eh... i-iya Mas.” jawabku tergagap.

“Kamu kenapa, Ran? Kok kaya panik gitu?” tanya Mas Pandu curiga.

“Enggak. Gak apa-apa kok. Ya udah, aku mandi dulu ya.” jawabku mencoba mengalihkan perhatian. Aku pun buru-buru masuk ke kamar mandi.



Di dalam kamar mandi aku pun segera melucuti pakaianku. Segera kuputar kedua keran shower untuk mengatur air supaya lebih hangat. Entah kenapa semburan air shower itu terasa sangat geli di permukaan kulitku. Apakah itu akibat dari adegan film yang kutonton sehingga membangkitkan hasratku? Tak sadar aku mulai meraba dan membelai tubuhku sendiri di sela-sela guyuran shower. Kuraba kedua payudaraku yang putingnya sudah mulai mengeras, lalu turun ke bawah hingga sampailah di pangkal pahaku. Kubelai-belai dengan lembut permukaan kemaluanku yang ditumbuhi rambut-rambut kasar. Kutuangkan sedikit sabun cair agar tanganku menjadi lebih licin. Ternyata tanganku tak hanya berhenti di permukaan, kuberanikan untuk menelusup ke dalam belahan yang lebih dalam. Hingga akhirnya menyentuh sebuah area yang begitu sensitif yang membuat tubuhku bergetar. Setelah beberapa saat bermain di sana, tiba-tiba ada semacam dorongan hebat dari dalam tubuhku. Lalu kurasakan kemaluanku seperti berdenyut-denyut. Setelah itu tubuhku melemas dan kaki seperti tak kuat menopang tubuhku. 


Aku segera membasuh tubuhku dan menyabuni seluruh tubuhku. Setelah selesai mandi aku pun berganti dengan baju tidur model terusan semacam daster dan kulapisi dengan cardigan dan jilbab sebagai penahan dinginnya puncak yang menusuk tulang.

Ketika keluar dari kamar mandi aku lihat Mas Pandu tengah asyik menonton televisi. Aku mendadak menjadi panik, karena masih teringat bahwa terakhir aku menonton televisi adalah di saluran yang sedang menyiarkan film porno. Tapi aku pura-pura cuek dan tidak tahu. Aku pun berlalu menuju tasku dan mengambil lotion. Sekilas kulirik televisi, dan ya, Mas Pandu sedang menonton film yang tadi sempat kutonton. Masih dengan cuek, aku mengoleskan lotion di kedua tangan dan kakiku tanpa memperhatikan Mas Pandu. Sebenarnya aku menjadi canggung, dan meskipun sedikit masih kurasakan sisa-sisa sensasi di kamar mandi tadi.

“Hei, Ran. Gila emang pemilik bungalow ini. Tuh liat, salah satu salurannya berisi film bokep. Oh ya, kamu udah pernah nonton film bokep atau belum?” celetuk Mas Pandu. Kali ini matanya menatap tajam ke arahku, seolah menyelidiki dan menelanjangiku.

“Emm, pernah sih, Mas. Tapi gak sering. Emangnya kenapa?” aku agak gugup menjawab pertanyaannya.

“Gak apa-apa sih. Sini dong, kita nonton bareng. Lagian di luar hujan deres, mau keluar cari hiburan juga males.” Katanya cuek sambil membetulkan sesuatu di balik sarungnya. Kulihat ada sesuatu yang sedang menonjol di sana, dan cukup membuat pikiran dan fantasiku tidak karuan ditambah sisa-sisa sensasi dari kamar mandi tadi.

Entah kenapa aku menuruti perkataannya. Aku pun duduk di samping Mas Pandu. Sebenarnya aku merasa risih, apalagi yang sedang kami tonton adalah film porno. Jantungku berdegup semakin kencang ketika aku mulai menatap layar televisi. Gairah yang belum sepenuhnya turun, kini mulai merangkak naik lagi. Aku mulai merasa resah dan panas. Area kewanitaanku mulai berdenyut-denyut lagi, memohon untuk disentuh. Namun aku tetap bergeming, mencoba untuk tetap jaim di depan pria tampan ini, walaupun sebenarnya berahiku tengah menanjak.

Tiba-tiba tangan Mas Pandu melingkar di pundakku. Aku pun hanya diam tak berkutik. Aku bingung, karena berahiku mengaburkan semua logikaku. “Kamu udah punya pacar, Ran?”

“Mmm, belum, Mas. Kenapa?” aku bertanya sekenanya untuk menutupi gairah yang mulai meletup-letup.

“Gak apa-apa. Sebenarnya sudah sejak lama aku tertarik sama kamu. Bahkan sejak pertama melihatmu di kantor kita. Cuma aku belum punya kesempatan untuk mengungkapkannya. Jujur, meskipun kamu memakai jilbab, tidak menutupi kecantikan dan keseksianmu.” kata-kata Mas Pandu seperti panah asmara yang langsung menancap di hatiku. Aku pun sebenarnya merasakan hal yang sama, hanya saja aku selalu berusaha untuk menutupinya. Karena aku pikir, siapalah aku, anak kemarin sore yang baru saja diterima bekerja masa iya bisa menarik hati seorang Pandu Putra Perdana, seorang praktisi IT yang masih muda dan bisa dibilang sukses. Namun, sore ini semua itu menjadi nyata, dan aku seperti dibuai dalam mimpi.

Belum sempat aku menjawab, bibir Mas Pandu sudah mendarat di bibirku. Tak menunggu lama, aku pun segera menyambut hingga akhirnya kami saling berpagutan selama beberapa saat. Lidah Mas Pandu mulai merangsek ke dalam mulutku. Aku pun tak mau kalah, kutekan lidahku kedalam mulutnya hingga terasa menyapu dan bersentuhan dengan lidahnya. Sementara lidah kami sibuk bertarung, tangan Mas Pandu mulai berani turun ke arah payudaraku. Ia mulai menyentuh, meremas dan mencari-cari putingku yang memang sudah mengeras sejak tadi. Adegan-adegan di film itu benar-benar membakar gairahku. Area kewanitaanku mulai terasa panas dan sedikit gatal berharap untuk segera dijamah.


Dia melepaskan ciumannya sejenak, “Kamu tahu gak, Ran? Kamu tuh sexy banget. Kamu punya payudara yang bisa membuat laki-laki manapun klepek-klepek.” katanya sambil tetap memainkan payudaraku.

No comments:

Post a Comment