Tak
terasa sudah hampir 6 bulan sejak aku diterima bekerja di perusahaan ini.
Perusahaan kami bergerak di bidang IT dan biasa menjadi penyedia di
kantor-kantor pemerintahan maupun swasta. Setelah implementasi suatu project,
biasanya dilanjutkan dengan pelaksanaan training. Dan seperti lazimnya kantor
pemerintah, mereka selalu meminta agar pelaksanaan training dilakukan di luar
kota supaya mereka bisa sekalian jalan-jalan.
Aku
sendiri di bagian administrasi yang mengurusi berkas-berkas pendukung
kelengkapan sebuah project. Ketika ada satu lembar berkas saja yang miss, maka
habislah aku, dan jangan berharap dapat terus bekerja di sini lagi. Karena
ketika bicara project, uang yang dimainkan tidak hanya ratusan ribu ataupun
jutaan rupiah, melainkan hingga mencapai miliaran rupiah. Tapi selain mengurusi
kelengkapan administrasi, biasanya aku juga diajak ketika pelaksanaan training.
Aku juga disuruh menjadi panitia untuk membantu terlaksananya training agar
dapat berjalan lancar.
Oh
ya, namaku Rani dan usiaku baru 24 tahun. Selepas kuliah, inilah pengalaman
pertamaku dalam dunia pekerjaan. Aku sendiri memutuskan untuk memakai hijab
semenjak kuliah hingga sekarang. Kata teman-teman, ternyata jilbab tidak
menyembunyikan wajahku yang manis. Justru semakin membuat aura kecantikanku
keluar. Ada alasan tersendiri mengapa aku memutuskan memakai hijab. Selain
untuk menyamarkan bentuk payudaraku yang memang di atas rata-rata dengan ukuran
34 D, ada sebab lain yang mendorong aku memakai hijab.
Ketika
SMA, aku termasuk cewek yang genit, ditambah dengan bentuk tubuhku yang ramping
dengan payudara padat berisi membuat setiap cowok tergila-gila. Namun, aku
tidak sampai melakukan hubungan badan dengan mereka. Bahkan dengan mantan
pacarku pun aku hanya sebatas bercumbu, ciuman, dan petting saja. Aku selalu
menolak kalau sampai diajak intercourse. Karena aku masih berprinsip,
kesucianku ini akan aku persembahkan hanya untuk laki-laki yang menjadi
pendamping hidupku. Meskipun jujur saja, hal itu cukup sulit kulakukan
mengingat aku adalah seorang wanita yang mudah terangsang dan terbakar
gairahnya. Untuk meredam hal itu, maka semenjak masuk bangku kuliah kuputuskan
untuk memakai hijab. Dan kurasa hal itu cukup efektif, paling tidak sampai saat
ini.
Aku
termasuk beruntung karena di kantorku ini orang-orangnya cukup bersahabat dan
saling membantu dalam hal pekerjaan. Tidak butuh waktu lama untuk membaur
dengan mereka. Mereka pun cukup welcome ketika pertama kali aku datang ke
kantor ini. Kini setelah 6 bulan berjalan, kami lebih seperti sebuah keluarga.
“Ran,
akhir pekan besok kamu bantu si Pandu untuk training di daerah puncak ya.”
tiba-tiba atasanku, Pak Ramli sudah berdiri di depan mejaku.
“Eh,
i..iya, Pak. Sama siapa lagi, Pak?” jawabku agak tergagap karena tidak
mengetahui dari kapan dia sudah berdiri di sana. Biasanya satu tim dari kami
terdiri dari 3 sampai 5 orang.
“Kalian
berdua saja, karena untuk segala perlengkapan dan akomodasi sudah ditanggung
sama klien. Biasa, mereka dari pemerintahan dan ini sudah menjelang akhir tahun
jadi kesempatan bagi mereka untuk menghabiskan anggaran.”
“Oh,
baiklah kalo begitu, Pak. Nanti akan segera saya siapkan apa-apa saja yang
diperlukan.” kataku mantab.
“Ah,
kayanya gak terlalu banyak. Soalnya kali ini kita seperti tamu. Kita menjadi
nara sumber, dan mereka yang menjamu kita. Jadi nanti bantu saja si Pandu, ya,
kamu bisa menjadi asrot-nya lah. Karena nanti dia yang akan presentasi mengenai
produk yang sudah diimplementasi di kantor mereka.” Pak Ramli menjelaskan.
“Baik,
Pak.”
****
Tibalah
hari yang dinanti. Sabtu pagi aku memang janjian sama Mas Pandu agak pagi di
kantor. Kami putuskan untuk berangkat bersama dari kantor. Maklum, aku tidak
terlalu mengerti daerah puncak, sedangkan Mas Pandu sudah biasa melanglang
buana kemana-mana. Dia adalah salah satu trainer senior di perusahaan kami.
Kadang aku merasa, dia lebih mirip katalog berjalan, karena tidak ada spek
barang yang luput dari ingatannya.
“Hai,
Ran. Udah lama nunggunya? Sori agak telat, gak tau nih, akhir pekan masih juga
macet. Dasar Jakarta!” sapanya sambil ngedumel. Dia tampak menarik, dengan
setelan celana jeans dan kaos Polo hitam yang menempel ketat di badannya yang
atletis. Untung pakaianku juga tidak ancur-ancur amat. Aku memakai rok jeans
yang kupadukan dengan kaus lengan panjang berwarna merah yang lumayan ketat
sehingga payudaraku tampak membulat padat namun masih tersamar oleh jilbab pink
yang kukenakan.
“Ah,
aku juga baru nyampe kok, Mas. Jadi kita langsung berangkat nih?”
“Iyalah,
nanti keburu siang, malah kejebak macet. Apalagi ini akhir pekan, banyak orang
yang menuju puncak. Oya, kamu bawa baju ganti kan?” tanyanya sambil menyematkan
kaca mata hitam. Fiuh, dia kelihatan tampan layaknya pria metroseksual. Ups,
aku harus fokus terhadap pekerjaanku.
“Iya
donk. Nih.” kataku sambil menjinjing tas yang sudah kusiapkan. Akhirnya tak
menunggu lama kami pun segera berangkat menuju puncak dengan menggunakan mobil Honda
Jazz warna merah milik Mas Pandu.
Di
dalam perjalanan, aku seringkali memergoki matanya mencoba melirik ke arah
payudaraku. Namun ketika aku melihat ke arahnya, dia langsung mengalihkan
pandangannya ke depan lagi. Hal ini membuat jantungku berdebar-debar tidak
keruan. Sudah lama aku tidak pernah pergi berdua dengan seorang cowok. Ditambah
lagi cowok yang satu ini tampan dan sepertinya sudah mapan, sehingga aku merasa
minder dibuatnya. Di perusahaan ini aku masih anak kemarin sore.
Setelah
menempuh perjalanan selama kurang lebih 3 jam, sampailah kami di tempat yang
dimaksud. Ternyata tempatnya lebih mirip seperti cottage yang berada dalam satu
kompleks. Setelah memarkir mobil, akhirnya kami menemui panitia dari instansi
tersebut dan bermaksud untuk menanyakan akomodasi yang disediakan buat kami.
“Dari
PT. Bintang Solusi Teknologi, ya Pak?” tanya salah satu panitia.
“Iya,
betul sekali, Pak. Tim kami dua orang, Pak. Karena kami laki-laki dan
perempuan, maka mohon agar kamarnya dipisah.” Mas Pandu menjelaskan.
“Aduh,
maaf kalau kami tidak mengkonfirmasi sebelumnya. Untuk kamar di sini hanya
tersisa satu yang ukuran besar, dan rencananya itu kami peruntukkan untuk Anda.
Hanya saja kami tidak menyangka kalau ternyata partner Anda seorang wanita.
Sekali lagi maafkan kami, Pak.” mereka tampak sangat menyesal.
“Apa
benar-benar tidak ada kamar yang kosong, Pak? Karena rasanya tidak pantas jika
kami harus satu ruangan. Atau paling tidak adakah peserta training yang
wanita?” Mas Pandu masih mencari celah.
“Mohon
maaf, sekali mohon maaf, Pak. Peserta training kali ini pria semua. Dan semua
kamar sudah terisi penuh. Jadi bagaimana, ya Pak?”
Mas
Pandu menatap mataku seolah-olah mencari solusi atas masalah yang timbul saat
ini. Aku bisa melihat bahwa dia sedang bimbang dan bingung harus bagaimana. Dia
merasa tidak enak kalau kami harus satu kamar, tapi sayangnya sudah tidak ada
kamar lagi yang tersedia. Aku pun menjadi panik, kalaupun hanya tinggal satu
kamar yang tersisa, tapi masa iya aku harus sekamar dengan seorang pria.
Akhirnya aku mengalah, karena kupikir pekerjaan adalah yang utama, toh nanti
masalah tidur bisa diatur.
“Ya
sudahlah, Mas. Tidak apa-apa. Nanti kita atur saja bagaimana enaknya. Yang
penting tujuan kita ke sini dapat terlaksana.” kataku.
“Kamu
yakin, Ran? Tapi aku sih terserah kamu saja. Kalau kamunya tidak apa-apa, aku
sih fine aja.” ada kelegaan di wajah Mas Pandu.
“Baiklah,
Pak. Tidak apa-apa, karena teman saya ini juga tidak keberatan. Oh ya, sesi
untuk kami kira-kira jam berapa ya?”
“Sekitar
jam 1 siang, Pak. Setelah itu nanti malam kita free dan dilanjutkan lagi besok
pagi.” kata panitia itu menjelaskan.
Akhirnya
setelah menerima kunci kamar, kami pun mohon diri untuk menuju ke ruangan kami.
Ternyata
ruangan kami berupa bungalow yang lumayan besar, dengan semacam pendopo di
depannya lengkap dengan meja dan kursinya. Di dalamnya terdapat sebuah ranjang
dengan ukuran king size untuk dua orang. Di sudut kamar ada kamar mandi yang
bisa dibilang cukup mewah dengan shower dan bath tub. Lalu di samping ranjang
juga ada televisi yang berukuran cukup besar. Setelah meletakkan barang-barang,
kami pun segera mempersiapkan segala kelengkapan untuk acara presentasi.
****
Selesai
acara presentasi, waktu itu hari sudah menjelang petang, kami pun menuju
ruangan tempat kami menginap setelah sebelumnya kami mohon diri kepada panitia.
Di langit mendung sudah tampak begelayut dengan begitu hitamnya, tanda malam
ini puncak akan diguyur hujan lebat.
“Hei,
Ran. Siapa dulu nih yang mandi?” kata Mas Pandu saat kami sudah mendekati
bungalow kami.
“Kamu
dulu aja, lah. Biasanya kalo cewek kan lama mandinya, gak enak kalo ditungguin.
Lagian aku mesti beresin berkas dan barang bawaanku.”
“Okelah
kalo begitu” katanya sambil nyengir.
Sampai
di dalam kamar aku pun segera membereskan berkas dan arsip-arsip untuk acara
presentasi tadi. Setelah itu aku menyiapkan baju ganti untuk malam ini.
Sementara Mas Pandu masih mandi, iseng-iseng aku pun menyalakan televisi.
Kupencet-pencet tombol remote sambil mencari acara yang bagus. Namun sepintas
rasanya tidak ada acara yang menarik, hingga akhirnya aku berhenti pada salah
satu saluran. Di saluran tersebut sedang memutar adegan antara pria dan wanita
yang sedang berhubungan badan. Mereka mulai dari berciuman, lalu saling
memeluk, meremas, hingga akhirnya sang laki-laki menjilati kemaluan sang
wanita, pun demikian sebaliknya. Setelah puas dengan foreplay, akhirnya sang
laki-laki yang memiliki batang sangat besar itu mulai melakukan penetrasi ke
dalam kemaluan sang wanita. Gerakan mereka semakin lama semakin cepat dan nafas
mereka semakin memburu.
Tak
ayal adegan itu membangkitkan gairahku. Tanpa kusadari tanganku sudah
mengusap-usap kemaluanku dari balik rok yang mulai berdenyut-denyut. Saat aku
tengah asyik menikmati momen ini, tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara pintu
kamar mandi yang terbuka. Langsung saja kutekan tombol power.
“Aku
udah selesai, Ran. Gantian kamu gih yang mandi.” celetuk Mas Pandu di depan
pintu kamar mandi.
Aku
yang masih terkaget-kaget, menjadi salah tingkah seperti maling yang sedang
kepergok hansip.
“E..
eh... i-iya Mas.” jawabku tergagap.
“Kamu
kenapa, Ran? Kok kaya panik gitu?” tanya Mas Pandu curiga.
“Enggak.
Gak apa-apa kok. Ya udah, aku mandi dulu ya.” jawabku mencoba mengalihkan
perhatian. Aku pun buru-buru masuk ke kamar mandi.
Di
dalam kamar mandi aku pun segera melucuti pakaianku. Segera kuputar kedua keran
shower untuk mengatur air supaya lebih hangat. Entah kenapa semburan air shower
itu terasa sangat geli di permukaan kulitku. Apakah itu akibat dari adegan film
yang kutonton sehingga membangkitkan hasratku? Tak sadar aku mulai meraba dan
membelai tubuhku sendiri di sela-sela guyuran shower. Kuraba kedua payudaraku
yang putingnya sudah mulai mengeras, lalu turun ke bawah hingga sampailah di
pangkal pahaku. Kubelai-belai dengan lembut permukaan kemaluanku yang ditumbuhi
rambut-rambut kasar. Kutuangkan sedikit sabun cair agar tanganku menjadi lebih
licin. Ternyata tanganku tak hanya berhenti di permukaan, kuberanikan untuk
menelusup ke dalam belahan yang lebih dalam. Hingga akhirnya menyentuh sebuah
area yang begitu sensitif yang membuat tubuhku bergetar. Setelah beberapa saat
bermain di sana, tiba-tiba ada semacam dorongan hebat dari dalam tubuhku. Lalu
kurasakan kemaluanku seperti berdenyut-denyut. Setelah itu tubuhku melemas dan
kaki seperti tak kuat menopang tubuhku.
Aku
segera membasuh tubuhku dan menyabuni seluruh tubuhku. Setelah selesai mandi
aku pun berganti dengan baju tidur model terusan semacam daster dan kulapisi
dengan cardigan dan jilbab sebagai penahan dinginnya puncak yang menusuk
tulang.
Ketika
keluar dari kamar mandi aku lihat Mas Pandu tengah asyik menonton televisi. Aku
mendadak menjadi panik, karena masih teringat bahwa terakhir aku menonton
televisi adalah di saluran yang sedang menyiarkan film porno. Tapi aku
pura-pura cuek dan tidak tahu. Aku pun berlalu menuju tasku dan mengambil
lotion. Sekilas kulirik televisi, dan ya, Mas Pandu sedang menonton film yang
tadi sempat kutonton. Masih dengan cuek, aku mengoleskan lotion di kedua tangan
dan kakiku tanpa memperhatikan Mas Pandu. Sebenarnya aku menjadi canggung, dan
meskipun sedikit masih kurasakan sisa-sisa sensasi di kamar mandi tadi.
“Hei,
Ran. Gila emang pemilik bungalow ini. Tuh liat, salah satu salurannya berisi
film bokep. Oh ya, kamu udah pernah nonton film bokep atau belum?” celetuk Mas
Pandu. Kali ini matanya menatap tajam ke arahku, seolah menyelidiki dan
menelanjangiku.
“Emm,
pernah sih, Mas. Tapi gak sering. Emangnya kenapa?” aku agak gugup menjawab
pertanyaannya.
“Gak
apa-apa sih. Sini dong, kita nonton bareng. Lagian di luar hujan deres, mau
keluar cari hiburan juga males.” Katanya cuek sambil membetulkan sesuatu di
balik sarungnya. Kulihat ada sesuatu yang sedang menonjol di sana, dan cukup
membuat pikiran dan fantasiku tidak karuan ditambah sisa-sisa sensasi dari
kamar mandi tadi.
Entah
kenapa aku menuruti perkataannya. Aku pun duduk di samping Mas Pandu.
Sebenarnya aku merasa risih, apalagi yang sedang kami tonton adalah film porno.
Jantungku berdegup semakin kencang ketika aku mulai menatap layar televisi.
Gairah yang belum sepenuhnya turun, kini mulai merangkak naik lagi. Aku mulai
merasa resah dan panas. Area kewanitaanku mulai berdenyut-denyut lagi, memohon
untuk disentuh. Namun aku tetap bergeming, mencoba untuk tetap jaim di depan pria
tampan ini, walaupun sebenarnya berahiku tengah menanjak.
Tiba-tiba
tangan Mas Pandu melingkar di pundakku. Aku pun hanya diam tak berkutik. Aku
bingung, karena berahiku mengaburkan semua logikaku. “Kamu udah punya pacar,
Ran?”
“Mmm,
belum, Mas. Kenapa?” aku bertanya sekenanya untuk menutupi gairah yang mulai
meletup-letup.
“Gak
apa-apa. Sebenarnya sudah sejak lama aku tertarik sama kamu. Bahkan sejak
pertama melihatmu di kantor kita. Cuma aku belum punya kesempatan untuk
mengungkapkannya. Jujur, meskipun kamu memakai jilbab, tidak menutupi
kecantikan dan keseksianmu.” kata-kata Mas Pandu seperti panah asmara yang
langsung menancap di hatiku. Aku pun sebenarnya merasakan hal yang sama, hanya
saja aku selalu berusaha untuk menutupinya. Karena aku pikir, siapalah aku,
anak kemarin sore yang baru saja diterima bekerja masa iya bisa menarik hati
seorang Pandu Putra Perdana, seorang praktisi IT yang masih muda dan bisa
dibilang sukses. Namun, sore ini semua itu menjadi nyata, dan aku seperti
dibuai dalam mimpi.
Belum
sempat aku menjawab, bibir Mas Pandu sudah mendarat di bibirku. Tak menunggu
lama, aku pun segera menyambut hingga akhirnya kami saling berpagutan selama
beberapa saat. Lidah Mas Pandu mulai merangsek ke dalam mulutku. Aku pun tak
mau kalah, kutekan lidahku kedalam mulutnya hingga terasa menyapu dan bersentuhan
dengan lidahnya. Sementara lidah kami sibuk bertarung, tangan Mas Pandu mulai
berani turun ke arah payudaraku. Ia mulai menyentuh, meremas dan mencari-cari
putingku yang memang sudah mengeras sejak tadi. Adegan-adegan di film itu
benar-benar membakar gairahku. Area kewanitaanku mulai terasa panas dan sedikit
gatal berharap untuk segera dijamah.
Dia
melepaskan ciumannya sejenak, “Kamu tahu gak, Ran? Kamu tuh sexy banget. Kamu
punya payudara yang bisa membuat laki-laki manapun klepek-klepek.” katanya sambil
tetap memainkan payudaraku.
Bersambung...
No comments:
Post a Comment